Tidak semua orang fasih bersuara melalui perkataan, beberapa di antaranya memilih mengungkapkan perasaan melalui aksara. Bisa dibilang, saya adalah salah satunya. Merangkai kata tak semudah mengucapkannya dan melalui aksara saya bisa meresapinya sebelum akhirnya mengungkapkannya. Sedangkan perkataan, saya tak mampu untuk menariknya kembali. Padahal, lidah yang tak bertulang ini terkadang khilaf mengucapkan perkataan setajam pedang atau yang mungkin tak ada faedahnya. Itulah sebabnya saya lebih menyukai bersuara melalui aksara karena setidaknya saya bisa memikirkan ulang sebelum saya menyebarkannya.
Sekitar tahun 2008 atau 2009 saya mulai mengenal blog melalui sebuah majalah remaja. Dahulu, blog hanya populer sebagai online diary saja belum semeriah saat ini. Setidaknya, itu yang saya tahu. Mengejar pageviews untuk nantinya tembus google adsense atau iklan banner di sidebar blog menjadi beberapa tujuan saya ngeblog. Selain tentu, untuk bersuara melalui aksara. Tak banyak yang dapat saya tulis saat itu, kehidupan kampus dan mata kuliahnya. Alih-alih sebagai pemindahan catatan dari binder agar tak bosan. Juga, sebagai ajang mengikuti lomba-lomba yang tak pernah merasakan kemenangan saat itu. Kebanyakan lomba SEO yang saya sendiri tak mengerti. Yang penting ikut berpartisipasi. Siapa tahu rejeki.
Ngeblog mengajarkan saya untuk belajar bahwa tidak ada sesuatu yang instan. Seringkali bosan memang. Apalagi kompetisi tak pernah menang. Setelah saya baca ulang tulisan saya jaman itu, ternyata cukup lucu. Kembali saya diingatkan bahwa kemampuan menulis itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, orang bijak mengatakan bahwa kemampuan menulis itu seperti mengasah kemampuan bersepeda. Harus terus dilatih agar mahir dan terjaga keseimbangannya. Seimbang mengalirkan rasa melalui aksara yang siapa pun akan mengerti ide atau perasaan penulisnya. Pun tak cepat bosan pembaca mengeja setiap kata-katanya.
Continue Reading…